Oleh: ISMAILY BUNGSU
APAlah nasibnya nenek tua pejuang kemerdekaan entah sempat menikmati air paip atau eletrik di zaman merdeka atau tidak? Kita tidak tahu/kalau melihat wajahnya terasa dia macam ibu saya yang sudah lama meninggal, penuh kesal penuh duka dan gundah hatinya resah jiwanya sepanjang usianya.
Nenek tua ini kalau kita lihat wajahnya penuh duka sambil mendengar menteri bicara soal rakyat didahulukan, sedang hatinya jiwanya resah melihat anak bangsa penuh curiga dan langit terbuka tiada cahayanya sebentar angin ribut raufan bakal tiba dan teringat kisah Kerajaan Saba di Kitab Suci Al Quran yang dijelaskan oleh Allah hancur musnah merkah tidak menjadi, meski mulanya subur dan hebat belaka dan musnah akibat bencana.
Apalah ertinya merdeka kalau nenek tua ini duduk di lantai sedang yang muda ketawa ria di atas kerusi empuk dengan pakaian yang indah dan cantik sambil gelak ketawa melihat YB berbohong dan berdusta mengabui mata rakyat jelata? Di mana sudah rasa homat pemimpin sekarang ini terhadap nenek tua yang cuma seketika sahaja usianya, entah esok, entah tiada atau inilah kali akhir dia menyambut hari merdeka.
Sebelum merdeka, bukan juga semudah ini nenek tua menghadapi Inggeris, Jepun dan semula ke Inggeris. Tentu kalau kita tanya akan diperkatakan bagaimana Jepun memancung kepala datuk nenek kita dan betapa mereka hanya makan ubi untuk mengalas perut lapar tidak terkira.
Zaman Jepun zaman derita. Minum air telaga, makan sayuran di hutan dan selalu berlapar kerana padi beras dirampas oleh Jepun ‘tabak bauta’ meski anak kakak saya kahwin dengan Jepun dan saya lama tinggal di Jepun.
Inilah yang terbayang di kepala nenek yang kalian lihat duduk di lantai duka hatinya, perit dia rasakan, pilu hatinya tiada siapa yang tahu, tetapi saya bisa merasakan meski saya tidak hidup di zaman Jepun yang ganas dan jahat.
Bagaimanalah kalau nenek tua yang tidak terpandang oleh saudara kita di Beaufort ini bak diri kita? Tidakkah kalian rasa rawan dan kecewa? Atau bagaimanalah kira-kiranya tindakan kalian?
Sepatutnya orang tua seharusnya duduk di atas untuk kita ingati sebagai pejuang, tetapi hakikatnya tidak demikian dan dia duduk di lantai seolah-olah UMNO dan pemimpin lupa adat berbudaya dan adat beradab bangsa kita yang sama duduk di lantai sama rendah dan berdiri sama tinggi kecuali, Ibrahim Pendek mesti di depan sebagai penghormatan sesama manusia.
Kelihatan budi pekerti kalangan bangsa kita sudah sirna dan sudah jauh terpelenting ke lantai dan kita bukan diajar berbudaya tetapi lebih kepada diajar sikap tidak beradat atau dalam bahasa kasarnya ‘BIADAP’.
Inilah ajaran yang kita dapat selain mereka gunakan semua media kerajaan untuk memfitnah dan memburukkan pakatan dan mereka hanya nampak kuman di seberang lautan sedang gajah berkeliaran di kelopak mata yang cukup menyakitkan pandangan mata kita. Inilah cogan kata rakyat didahulukan dan hakikatnya perut mereka kenyang, sedang rakyat kebuluran dan duduk di lantai seperti nenek tua.
Apa lagi yang bisa kita katakan dan perlakuan sudah jelas di mata kita dan sikap demikian bukan saja melanggar tatacara hidup berbudaya, tetapi melanggar sikap menghormati orang tua yang diajarkan oleh Rasulullah kepada kita dan inikah Islam hadhari yang tenggelam tidak kedengaran ceritanya lagi?
Ke mana sudah Badawi dengan slogannya? Terkubur dan Islam hadhari yang dijunjung mulia, lalu terhimpit oleh rakyat didahulukan dan akhirnya perut para pemimpin semakin BOROI kala memakai dasi batik buatan Kelantan, tetapi mereka masih gagah berjalan perut ke hadapan.
Kesian bangsaku ini yang sepatutnya lahir berbudi bahasa beradat mulia, tetapi menjadi bangsa yang tidak hormat orang tua dan pejuang negara seperti Tun Mustapha yang dilupakan begitu saja dan Donalds Stephen serta Albert Kok menangis dalam kubur melihat anak bangsaku yang konon merdeka, ada rumah berjuta dan anak bini berbelanja di London atau Paris dan segala macam kelihatannya. Cukup Menyedihkan.
No comments:
Post a Comment